Mengapa Sekotong Mendunia?

BUWUNMAS.web.id - Apa yang ada dipikiran kita ketika mendengar kata “sekotong”? berbagai macam pikiran baik dan buruk mengenai sebuah tempat bernama sekotong tentu terlintas begitu saja, misalnya sebagai seorang yang tidak dilahirkan di sekotong, menilai berdasarkan kunjungan singkat maka orang akan menilai secara geografis sekotong adalah tentang wilayah marginal, berbukit-bukit, jalanan sempit tetapi mempunyai banyak tempat eksotis. Bagi yang dilahirkan di sekotong, normalnya akan merasa bangga apapun kondisi sekotong, bahkan membelanya ketika ada yang menganggapnya sebagai tempat yang tidak aman, sangat manusiawi sekali jika berusaha membela ketika ada orang lain memandang sekotong buruk.

Sebagai wilayah paling selatan kabupaten Lombok Barat dengan jarak yang cukup jauh dengan pusat pemerintahan daerah, menjadi sebuah “kewajaran” dalam bingkai politis diperlakukan tak adil dan dipandang sebelah mata, SDM menjadi penentu utama perlakuan tak adil tersebut,dulu tidak ada tokoh aseli sekotong yang menduduki posisi strategis di pemerintahan yg berasal dari wilayah ini, dan biasanya wilayah sulit akan melahirkan melahirkan SDM yang kurang mampu bersaing karena segala akses terbatas. Seperti yang terjadi selama ini di wilayah indonesia timur umumnya.

Bertahun-tahun sekotong menjadi ikon dari wilayah marginal, bahkan sopir-sopir yang menunggu penumpang di wilayah Lombok Barat sangat paham bahwa begawah artinya menuju ke sekotong, gawah identik dengan sekotong yang merupakan sebutan komunal tak tertulis. Gawah bukan hanya diartikan hutan, lebih luas gawah menunjukkan identitas buruk yang bermakna kemunduran baik secara sosial maupun pengetahuan. Kondisi ini diperparah dengan sikap acuh tak acuh masyarakat dan kurangnya kesadaran akan pendidikan.

Bukan tak ada upaya strategis memajukan wilayah sekotong, bebarapa komunitas pernah dibentuk untuk memperkenalkan sekotong ke dunia luar, tetapi mengalami kemandekan karena memang komunitas-komunitas tersebut tak didorong oleh “bahan bakar” reaktif, bertahun-tahun bertahan lalu redup, dihidupkan kembali tapi redup kembali, kalau oleh mereka yang tak suka disbutlah sebagai komunitas “anget-anget tain manuk” [1]. Sadar atau tidak, sebuah komunitas tidak cukup hanya digerakkan oleh pengurus inti sedangkan anggotanya tidak satu visi dan misi, mereka kebanyakan adalah orang-orang dengan orientasi uang, mencari penghidupan di komunitas.

Pada pertengahan tahun 2017 tagar sekotong mendunia (#SekotongMendunia) mulai muncul, logikanya sederhana tetapi digerakkan semangat kemajuan tanpa mengenal pengetahun komputer yang cukup, apalagi mengharapkan embel-embel kesejahteraan sebagai upah, menurut Foundernya bahwa penggunaan tagar memudahkan orang untuk mencarinya di mesin pencarian.

Saya tak perlu menuliskan siapa yang pertama kali mempopulerkan tagar sekotong mendunia, saya takut ada kesan subjektif, tetapi pengaruh dari tagar tersebut luar biasa, bahkan oleh seorang kawan dari tibu lilin Lembar berdecak kagum dengan tagar Sekotong Mendunia terpampang di salah satu Videotron di Singapur September 2019 padahal dia tidak mengetahui siapa yang pertama kali menggunakan hastag tersebut untuk memperkenalkan sekotong pada dunia, sehingga dia tidak mengambil gambar videotron tersebut sebagai bukti otentik bahwa tagar sekotong menduni sudah menembus batas-batas pikiran pengkritiknya yg kerdil.

Kalau memang harus mengkerdilkan upaya mempopulerkan hastag sekotong mendunia tersebut dengan beranggapan bahwa sekotong sudah terkenal sejak lama, maka seharusnya dengan besar hati menerima bahwa baru pertama kali juga kata sekotong ditulis di videotron tersebut, lalu pelan-pelan membuka kesadaran berpikir, sudah sejauh mana upaya saya pribadi memperkenalkan sekotong, kecuali hanya hujatan-hujatan kebencian yang menyerang pribadi? Benci seharusnya tak se ABU JAHAL itu..!

Sadar atau tidak, suka atau tidak, penggunaan tagar sekotong mendunia telah benar-benar diakui, bahkan Pemda Lombok Barat melalui Biro humasnya menggunakan tagar tessebut sejak medio 2018 2 tahun lalu, meskipun terlambat menyadari potensi besar yang ada di sekotong, Pemda sudah memulai mengadakan event-event bertaraf Nasional di wilayah yang dulu terkenal sebagai wilayah pinggiran ini, upaya nyata atraksi pariwisata sekaligus promosi.

Peran media sosial sangat penting sebagai alat untuk promosi wilayah sekotong, media tidak hanya menarget sebuah negara, tetapi mencakup semua negara di dunia, tagar sekotong mendunia mempermudah promosi tersebut dengan menyeragamkan diksi sehingga wisatawan akan fokus seperti harapan creator tagar sekotong Mendunia. Harapan sederhana yang tidak bisa dicerna oleh orang-orang yang hatinya dipenuhi oleh rasa iri dan dengki semacam abu jahal melihat perjuangan mulia Nabi.

Saya paham betul kritik saat ini kebanyakan hanya tentang naluri sebagai bentuk ekspresi untuk menguntungkan diri sendiri, bahkan Prof. Mahfud MD mengatakan “dalam banyak kasus, orang kritis itu karena tak kebagian saja, setelah dapat bagian menjadi pendiam dan rakusnya bukan main, kuat miskin tapi tak kuat kaya”. Idealisme hanya sebuah angan-angan kosong, ketika sudah punya kesempatan memperdaya orang dengan sikap idealismenya, diam-diam menunggu kesempatan untuk ambil bagian paling banyak.

Tagar sekotong mendunia adalah sebuah kalimat promosi sederhana, hanya sekedar kata, tak ada keuntungan yang didapatkan kecuali hanya menjadi admin dari akun media sosial lalu menyabotasenya. Sangat tak berdasar kalimat tersebut dianggap sebagai tunggangan politik foundernya, sebab gerakan tersebut ada sebelum foundernya memilih menjadi calon Dewan Perwakilan rakyat. Beranggapan dengan kalimat promosi tersebut mampu menarik pemilih yang notebane adalah orang-orang yang tidak paham pariwisata adalah logical fallacy parah yang diambil dari premis-premis cacat.

Tagar sekotong mendunia sukses memperkenalkan sekotong pada dunia, meskipun ditingkat lokal menjadi bahan ejekan dan cibiran serta mempelesetkan dengan hal-hal negatif, termasuk dengan menyerang secara pribadi identitas seseorang.

Kritik sangat penting menjadi penyeimbang tetapi kritik dengan menyerang pribadi adalah cara-cara tidak beradab dan apriori yang didasarkan pada sifat subjektif dan egois. Jika kritik dilakukan karena harapan terlalu besar terhadap tagar sekotong mendunia bisa merubah dunia pariwisata sekotong menjadi lebih baik ditengah pandemi global ini, maka perlu sebuah perenungan yang mendalam, intropeksi diri apa yang pernah diperbuat untuk pariwisata? Sebandingkah dengan kritik-kritik yang dilontarkan? Berapa banyak wisatawan yang mampu dihadirkan? Buatlah gerakan sendiri lalu nilailah secara objektif perubahan apa saja yang sudah masyarakat nikmati dari gerakan yang dibuat?

Kalau hanya suara sekedar bersuara, saya rasa binatang pun bersuara, bahkan burung lebih merdu kicauannya. (SA)

[1]. Ungkapan dalam bahasa sasak yg artinya semangat di awal tetapi lemas diakhir, seperti tahi/kotoran ayam
Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
OPINI